Hukum Seorang Suami Menyusu Dengan Istri
Ibnu
Mas`ud
Radhiyallahu ‘anhu dikatakan, “Tidaklah dikatakan persusuan kecuali jika
(bisa) menumbuhkan tulang dan daging.” (Ibanatul Ahkam, 3/440).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang lelaki yang
membersihkan matanya dari debu dengan air susu istrinya, apakah istrinya
menjadi haram jika air susu itu masuk ke dalam perutnya? Dan dalam
kesempatan lain beliau ditanya tentang seorang suami yang suka bercumbu
dengan istrinya sehinnga ia biasa menghisap payudara istrinya, apakah ia
(istrinya) menjadi haram atasnya?
Maka untuk yang pertama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Maka untuk yang pertama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menjawab bahwa hal itu boleh, dan istrinya
tidak menjadi haram atasnya, hal itu dilihat dari dua segi. Pertama,
karena suami sudah dewasa, dan jika orang yang sudah dewasa apabila ia
menghisap payudara istrinya atau wanita lain maka tidaklah berlaku hukum
keharaman karena sebab
Dan untuk soal yang kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab, “Menyusunya (suami kepada istrinya) tidak menjadikan istrinya haram atasnya karena sebab persusuan. (Ibnu Taimiyyah, vol. 3 hal. 162).
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa dari syarat berlakunya hukum keharaman (untuk nikah) lantaran sebab persusuan adalah pada masa “haulani”, yakni kurang dari dua tahun. (Ibnu Qudamah, vol. 1 hal. 319). Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu, semisal shahabat `Umar, `Ali, Ibnu `Umar, Ibnu `Abbas, Ibnu Mas`ud, dan Abu Hurairah, serta sederetan dari istri-istri Nabi saw kecuali `Aisyah ra. Adapun `ulama yang sependapat (dengan `ulama-`ulama dari kalangan shahabat) dari thabi`in seperti Asy-Sya`bi, Al-Auza`i, Asy-Syafi`i, Ishaq, Abu Yusuf, dan lain-lain. Dalam riwayat Malik dikatakan, “Hukumnya sama meskipun lebih satu atau dua bulan dari batasan waktu ‘haulani’ (dua tahun). Ibnul qashim meriwayatkan dari Malik bahwa ia berkata, “Persusuan itu (waktunya) pada dua tahun atau dua bulan selanjutnya.” (Al-Qurthubi, vol. 3 hal. 162).
Adapun `Aisyah dan `ulama-`ulama lain seperti Atha`, Al-Laist, Dawud Azh-Zhahiri, dan lain-lain, mengatakan bahwa menyusunya orang yang sudah besar itu menjadi penyebab keharaman (Ibnu Qudamah, vol. 11 hal. 318). Artinya apabila ada seorang wanita bukan mahram kemudian menyusui seorang laki-laki yang sudah dewasa maka ia akan menjadi mahram lantaran persusuan itu. Pendapat ini berdasar ayat 33 dari surat An-Nisaa` dan juga sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Sahlah binti Suhail, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah menganggap Salim sebagai anak, ia tinggal bersamaku dan Abu Hudzaifah (suaminya) dalam satu rumah. Ia (Salim) telah melihatku dengan pakaian kerja (bukan jilbab) ……apa pendapatmu? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Susuilah dia’. (Dalam riwayat lain dikatakan, ‘Susuilah dia agar menjadi mahrammu’). Maka ia pun menyusuinya dengan lima sususan, sehingga jadilah ia sebagai anak susuannya”. Maka dari hadits tersebut `Aisyah memerintahkan anak-anak wanita dari saudara-saudara perempuan dan anak-anak wanita dari saudara-saudara laki-lakinya untuk menyusui siapa saja yang ia (`Aisyah) ingin, (diperbolehkan) untuk melihatnya dengan lima susuan meskipun orang itu sudah besar. Namun hal itu diingkari oleh Ummu Salamah dan juga sederet istri-istri Nabi saw…… lalu mereka (istri-istri Nabi) berkata kepada `Aisyah, “Demi Allah kami tidak tahu, mungkin hal itu dikhususkan oleh Rasulullah bagi Salim, tidak untuk yang lain.” (HR. Nasa`i dan Abu Dawud).
Namun dalam hal ini ada pendapat, yang hal ini dikuatkan atau dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu, ”Persusuan itu yang mu`tabar (diakui) hanya bagi anak kecil, kecuali jika ada udzur yang benar-benar syar`i, seperti menyusunya orang yang sudah besar yang tidak mungkin lagi untuk menghindar dari ikhtilath dengan wanita itu, atau wanita sangat sulit berhijab darinya”. Dalam kasus di atas, bahwa Salim adalah bekas budak dari suami wanita itu (Sahlah binti Suhail).
Pendapat inilah yang mungkin bisa menggabungkan dari dua pendapat di atas, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu tidak ada hukum dan pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu sebagaimana menyusui anak kecil. (Nailul Author).
Berapa Kadar Penyusuan Yang Menimbulkan Hukum
Dalam hal ini terdapat banyak perselisihan, yaitu:
Pertama, bahwa yang menjadikan keharaman (untuk menikah) dari sebab persusuan yaitu apabila kadarnya tiga atau lebih. Pendapat ini diwakili oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Mundzir, Abu Ats-Tsauri dan segolongan `ulama-`ulama lainnya, mereka berpendapat dengan dasar hadits Nabi saw:
لَاتُحْرَمُ الْمِصَّةُ وَالْمِصَّتَانِ (أخرجه مسلم)
“Tidaklah mengharamkan satu atau dua sedotan.” (HR. Muslim).
Kedua, baik sedikit atau banyak tetap menjadi sebab pengharaman, mereka yang berpendapat dengan pendapat ini adalah shahabat `Ali, Ibnu `Abbas, Ibnu `Umar, Hasan al-Basri, Az-Zuhri, Qatadah, Ats-Tsauri, begitu juga yang dipegang oleh Abu Hanifah dan Malik. Mereka berhujjah dengan dasar bahwa Allah mengkaitkan pengharaman itu dengan nama ‘Rodo`’ yaitu persusuan. Maka tatkala ada nama berarti ada hukum.
Ketiga, tidak menjadi sebab keharaman kecuali 5 (lima) sedotan. Pendapat ini dibawa oleh Ibnu Mas`ud, Ibnu Zubair, Atha`, Thawus, Syafi`i, Ahmad, Ibnu Hazm dan segolongan `ulama yang lain. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan hadits `Aisyah tentang kisah Salim. (Abdus Salam, vol. 3 hal. 440).
Dan dalam kitab “Al-Mughni” Ibnu Qudamah (vol. 11 hal. 313) menyebutkan bahwa yang masyhur dikalangan para ulama` adalah adalah 5 (lima) sedotan.
Kesimpulan
· Sedotan seorang bayi pada payudara seorang wanita satu atau dua kali saja tidak menjadikan keharaman baginya, artinya anak dan wanita itu jika menikah tetap sah.
· Jika usia anak itu di atas 2 (dua) tahun maka tidak berlaku hukum persusuan (rodho`ah) tersebut.
· Kadar persusuan yang menjadi sebab keharaman dari pernikahan adalah 5 (lima) hisapan atau sedotan.
· Bolehnya seorang suami menyusu dengan istrinya dan istrinya menyusui suaminya, dan itu tidak menjadi sebab keharaman atas mereka.
· Menyusunya seseorang yang telah dewasa dengan seorang wanita akan menjadi sebab keharaman dalam kondisi udzur. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah.
Wallahu A`lamu bish Shawab.
persusuan, hal ini sebagaimana pendapat imam
yang empat dan jumhur `ulama. Dan juga hal itu dikuatkan oleh hadits
`Aisyah dalam permasalahan Salim yang menyusu kepada seorang wanita.
Kedua, sampainya air susu di mata tidaklah berlaku keharaman karena
sebab persusuan.
Dan untuk soal yang kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab, “Menyusunya (suami kepada istrinya) tidak menjadikan istrinya haram atasnya karena sebab persusuan. (Ibnu Taimiyyah, vol. 3 hal. 162).
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa dari syarat berlakunya hukum keharaman (untuk nikah) lantaran sebab persusuan adalah pada masa “haulani”, yakni kurang dari dua tahun. (Ibnu Qudamah, vol. 1 hal. 319). Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu, semisal shahabat `Umar, `Ali, Ibnu `Umar, Ibnu `Abbas, Ibnu Mas`ud, dan Abu Hurairah, serta sederetan dari istri-istri Nabi saw kecuali `Aisyah ra. Adapun `ulama yang sependapat (dengan `ulama-`ulama dari kalangan shahabat) dari thabi`in seperti Asy-Sya`bi, Al-Auza`i, Asy-Syafi`i, Ishaq, Abu Yusuf, dan lain-lain. Dalam riwayat Malik dikatakan, “Hukumnya sama meskipun lebih satu atau dua bulan dari batasan waktu ‘haulani’ (dua tahun). Ibnul qashim meriwayatkan dari Malik bahwa ia berkata, “Persusuan itu (waktunya) pada dua tahun atau dua bulan selanjutnya.” (Al-Qurthubi, vol. 3 hal. 162).
Adapun `Aisyah dan `ulama-`ulama lain seperti Atha`, Al-Laist, Dawud Azh-Zhahiri, dan lain-lain, mengatakan bahwa menyusunya orang yang sudah besar itu menjadi penyebab keharaman (Ibnu Qudamah, vol. 11 hal. 318). Artinya apabila ada seorang wanita bukan mahram kemudian menyusui seorang laki-laki yang sudah dewasa maka ia akan menjadi mahram lantaran persusuan itu. Pendapat ini berdasar ayat 33 dari surat An-Nisaa` dan juga sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Sahlah binti Suhail, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah menganggap Salim sebagai anak, ia tinggal bersamaku dan Abu Hudzaifah (suaminya) dalam satu rumah. Ia (Salim) telah melihatku dengan pakaian kerja (bukan jilbab) ……apa pendapatmu? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Susuilah dia’. (Dalam riwayat lain dikatakan, ‘Susuilah dia agar menjadi mahrammu’). Maka ia pun menyusuinya dengan lima sususan, sehingga jadilah ia sebagai anak susuannya”. Maka dari hadits tersebut `Aisyah memerintahkan anak-anak wanita dari saudara-saudara perempuan dan anak-anak wanita dari saudara-saudara laki-lakinya untuk menyusui siapa saja yang ia (`Aisyah) ingin, (diperbolehkan) untuk melihatnya dengan lima susuan meskipun orang itu sudah besar. Namun hal itu diingkari oleh Ummu Salamah dan juga sederet istri-istri Nabi saw…… lalu mereka (istri-istri Nabi) berkata kepada `Aisyah, “Demi Allah kami tidak tahu, mungkin hal itu dikhususkan oleh Rasulullah bagi Salim, tidak untuk yang lain.” (HR. Nasa`i dan Abu Dawud).
Namun dalam hal ini ada pendapat, yang hal ini dikuatkan atau dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu, ”Persusuan itu yang mu`tabar (diakui) hanya bagi anak kecil, kecuali jika ada udzur yang benar-benar syar`i, seperti menyusunya orang yang sudah besar yang tidak mungkin lagi untuk menghindar dari ikhtilath dengan wanita itu, atau wanita sangat sulit berhijab darinya”. Dalam kasus di atas, bahwa Salim adalah bekas budak dari suami wanita itu (Sahlah binti Suhail).
Pendapat inilah yang mungkin bisa menggabungkan dari dua pendapat di atas, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu tidak ada hukum dan pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu sebagaimana menyusui anak kecil. (Nailul Author).
Berapa Kadar Penyusuan Yang Menimbulkan Hukum
Dalam hal ini terdapat banyak perselisihan, yaitu:
Pertama, bahwa yang menjadikan keharaman (untuk menikah) dari sebab persusuan yaitu apabila kadarnya tiga atau lebih. Pendapat ini diwakili oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Mundzir, Abu Ats-Tsauri dan segolongan `ulama-`ulama lainnya, mereka berpendapat dengan dasar hadits Nabi saw:
لَاتُحْرَمُ الْمِصَّةُ وَالْمِصَّتَانِ (أخرجه مسلم)
“Tidaklah mengharamkan satu atau dua sedotan.” (HR. Muslim).
Kedua, baik sedikit atau banyak tetap menjadi sebab pengharaman, mereka yang berpendapat dengan pendapat ini adalah shahabat `Ali, Ibnu `Abbas, Ibnu `Umar, Hasan al-Basri, Az-Zuhri, Qatadah, Ats-Tsauri, begitu juga yang dipegang oleh Abu Hanifah dan Malik. Mereka berhujjah dengan dasar bahwa Allah mengkaitkan pengharaman itu dengan nama ‘Rodo`’ yaitu persusuan. Maka tatkala ada nama berarti ada hukum.
Ketiga, tidak menjadi sebab keharaman kecuali 5 (lima) sedotan. Pendapat ini dibawa oleh Ibnu Mas`ud, Ibnu Zubair, Atha`, Thawus, Syafi`i, Ahmad, Ibnu Hazm dan segolongan `ulama yang lain. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan hadits `Aisyah tentang kisah Salim. (Abdus Salam, vol. 3 hal. 440).
Dan dalam kitab “Al-Mughni” Ibnu Qudamah (vol. 11 hal. 313) menyebutkan bahwa yang masyhur dikalangan para ulama` adalah adalah 5 (lima) sedotan.
Kesimpulan
· Sedotan seorang bayi pada payudara seorang wanita satu atau dua kali saja tidak menjadikan keharaman baginya, artinya anak dan wanita itu jika menikah tetap sah.
· Jika usia anak itu di atas 2 (dua) tahun maka tidak berlaku hukum persusuan (rodho`ah) tersebut.
· Kadar persusuan yang menjadi sebab keharaman dari pernikahan adalah 5 (lima) hisapan atau sedotan.
· Bolehnya seorang suami menyusu dengan istrinya dan istrinya menyusui suaminya, dan itu tidak menjadi sebab keharaman atas mereka.
· Menyusunya seseorang yang telah dewasa dengan seorang wanita akan menjadi sebab keharaman dalam kondisi udzur. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah.
Wallahu A`lamu bish Shawab.